Kamis, 20 Maret 2014

UU Desa Jadi Komoditas Politik 73 Ribu Kades Bisa Terjerat Korupsi





http://palopopos.co.id/photohead/139140015703-hetlainn-1.jpg
JAKARTA-Sultra Ekspress
Pakar Politik dan Otonomi Daerah, Prof. Siti Zuhro mengingatkan kepada pemerintah dan DPR RI untuk benar-benar menyiapkan aturan lanjutan dalam penerapan Undang-Undang tentang Desa yang baru disahkan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, jika aparat desa tidak dipersiapkan dengan baik, dana miliaran rupiah yang akan digelontorkan bisa disalahgunakan. Dan, bukan tidak mungkin, lebih dari 73 ribu kepala desa akan tersandung korupsi. Belum lagi jika payung hukum ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk menjadi komoditas politiknya.
Berbicara politik, katanya, perlu berbicara lokal. Kalau berbicara maju atau tidaknya perlu dilihat dari desa.
''Kita perlu menghargai pemerintah dan DPR yang melahirkan payung hukum baru (UU Tentang Desa). Satu hal lagi bahwa berbicara desa, ada 73 ribu desa di seluruh Indonesia. Ada desa yang kurang maju dan sangat maju. Tapi dengan dana itu ditreatmen sama. Kita berharap jangan sampai disalahgunakan dana tersebut. Dengan dana yang cukup untuk desa, jangan sampai setelah satu tahun, seperti kepala daerah yang lebih dari 300 kepala desa yang terlibat korupsi. Jangan sampe separuh dari 73 ribu desa melakukan korupsi,'' saran Siti dalam kegiatan Ngopi Bareng yang digelar Ikatan Akuntan Indonesia dengan tema ''Potensi Penyimpangan Dana Pembangunan Desa'' di Hongkong Cafe, Jakarta seperti dilansir Fajar Media Centre (FMC) (Grup Palopo Pos), Minggu, 2 Februari kemarin.
Walau demikian, Siti Zuhro mengaku sangat mendukung penerapan UU tersebut.
Menurutnya, yang perlu dipersiapkan saat ini adalah sistem pertanggungjawaban oleh aparat desa.
Selain itu, katanya, erlu dilihat juga dampak dari besarnya dana yang akan diberikan kepada desa bisa melahirkan persaingan tidak sehat.
''Saya sangat setuju dengan desa diberdayakan. Saya harapkan perlu ada pertimbangan yang perlu diambil antara pemerintah dan DPR. Kira-kira bagaimana model pertanggungjawabanya. Sudah ada rumor ada uang ini nanti dapat melahirkan kontestasi yang tidak sehat. Ini perlu diantisipasi. Apalagi law enforcement yang masih seperti ini,'' sambungnya lagi.
Sementara pengamat ekonomi, Sunarsip menguraikan, di dalam UU tersebut disebutkan, desa akan dihibahkan dana 10 persen dari APBN. Sehingga, lanjutnya, sudah pasti dana yang akan diterima masing-masing desa itu sangat besar.
Hanya saja, dia mempertanyakan sistem penyaluran dana tersebut. Pasalnya, secara akademik, SDM aparat desa masih sangat rendah. Satu hal yang mungkin harus dipikirkan nanti dana ke desa dalam bentuk apa. Atau mungkin seperti DAK? Misalnya buat proposal atau bentuk natural.
''Kalau kita tidak segera edukasi dan mewajibkan perangkat desa membuat proposal secara bagus, maka uang akan hilang sendiri. Jangan sampai uang menguap. Apalagi SDM-nya masih rendah,'' tandas Sunarsip.
Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sudjatmiko pada kesempatan itu mengungkapkan, UU tentang desa sebelumnya telah mengendap selama tujuh tahun. Namun, dengan sudah disetujuinya RUU tersebut menjadi UU, besar harapan semoga lebih dari 60 persen rakyat Indonesia yang tinggal di desa dapat dinaikkan harkat dan martabatnya.
Menurut Budiman, UU desa merupakan upaya untuk membangun pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan.
''Pendekatan pembangunan sebelumnya tidak dapat menyelesaikan persoalan. Sementara 60 persen orang Indonesia tinggal di desa. Sehingga perlu pendekatan baru. Pembangunan bukan hanya urusan orang pintar tapi orang banyak. Dan, UU desa adalah pendekatan resilusioner yang lebih partisipatif. Memang banyak yang khawatir nanti kepala desa korupsi, lalu belum lagi persoalan pengelolaannya. Tapi kan kita punya pengalaman PNPM yang perlu dokokohkan. Memberantas kemiskinan bukan tujuan RUU desa, tapi menumbuhkan kelas menengah dari akar rumput,'' tambahnya. (fmc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar