Ilustrasi -
ist
Jakarta,
Sultra Ekspress
Goebbels,
Epi Suhendar dan kini Dedeh Uum Fatimah, yakni detik ketika hati mereka memaksa
membunuh anak tercinta.
Yang ganjil bagi kita, justru ‘rasa cinta’lah yang menekan mereka membunuh darah daging sendiri, buah cinta bersama sebagai suami istri itu. Pada 1 Mei 1945, di tengah kekalahan Nazi Jerman yang telah membayang di hadapan, dan kuatir akan masa depan anak-anak mereka, Joseph dan Magda—suami istri sahabat dekat Hitler sang pimpinan Nazi, memberi keenam anak mereka pil sianida. Entah dalih apa yang bisa memaksa keenam putra-putri mereka menelannya sebelum tidur yang tak lagi memungkinkan kembali terjaga.
Bulan lalu, di Bekasi, kekuatiran serupa membuat Epi Suhendar melakukan hal yang sama. Lelaki gempal yang belum lagi berusia 30 itu dengan keji menusuki anaknya, Ihsan Fazel Mawlana (3 tahun) hingga tewas. Lalu ada ayah muda, Darmalis yang sampai hati menyuruh kedua anaknya, Cyndi dan Bayu, menenggak racun laiknya menyeruput limun.
Yang ganjil bagi kita, justru ‘rasa cinta’lah yang menekan mereka membunuh darah daging sendiri, buah cinta bersama sebagai suami istri itu. Pada 1 Mei 1945, di tengah kekalahan Nazi Jerman yang telah membayang di hadapan, dan kuatir akan masa depan anak-anak mereka, Joseph dan Magda—suami istri sahabat dekat Hitler sang pimpinan Nazi, memberi keenam anak mereka pil sianida. Entah dalih apa yang bisa memaksa keenam putra-putri mereka menelannya sebelum tidur yang tak lagi memungkinkan kembali terjaga.
Bulan lalu, di Bekasi, kekuatiran serupa membuat Epi Suhendar melakukan hal yang sama. Lelaki gempal yang belum lagi berusia 30 itu dengan keji menusuki anaknya, Ihsan Fazel Mawlana (3 tahun) hingga tewas. Lalu ada ayah muda, Darmalis yang sampai hati menyuruh kedua anaknya, Cyndi dan Bayu, menenggak racun laiknya menyeruput limun.
Yang tak
kalah menggegerkan manakala Ani Sriwijaya, seorang ibu rumah tangga lulusan
sebuah perguruan tinggi teknologi terkemuka di Bandung, aktivis keagamaan yang
santun dan tenang, juga tiba-tiba mengakhiri riwayat ketiga anaknya yang masih
kecil dengan membekap mereka dengan bantal. Terungkap, cara Ani begitu
dramatis, karena ia sempat mengelus-elus kepala ketiga sebelum mengantar mereka
ke dalam tidur panjang.
Hingga awal
pekan ini, kita masih juga kaget ketika di kampung Cijeungjing, Desa
Kertamulya, Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, Dedeh Uum Fatimah membenamkan
putri yang sedang lucu-lucunya, Aisyah Fani (2,5 tahun) ke dalam bak penampungan
air (toren). Dengan hati dingin, ia menutup rapat toren itu, menunggu satu jam
untuk memastikan anaknya tewas.
Ironisnya
Dedeh melakukan hal itu di awal hari--sekitar pukul 3 pagi, saat seharusnya
orang mengisi jiwa dengan asa untuk beraktivitas di hari yang datang menjelang.
Dedeh, justru memulainya dengan menghilangkan nyawa anaknya.
Menyesalkan Dedeh? Ya. Tetapi jawabannya akan membuat kita tersedak tiba-tiba. “Nyesel dua anak lagi enggak meninggal. Kan (kalau meninggal) bisa masuk surga," ujar Dedeh, tenang, saat tepekur di Mapolres Cimahi, tempatnya kini ditahan. Bersama suaminya, Kasito, Dedeh memiliki tiga anak. Muhamad Rizaldi (15), Muhamad Fahrul Robani (10) dan Aisah Fany (2,5) yang kini tinggal nama. Fahrul juga sebenarnya telah dicoba dibunuh ibunya, hanya anak itu bisa keluar toren dan selamat.
Menyesalkan Dedeh? Ya. Tetapi jawabannya akan membuat kita tersedak tiba-tiba. “Nyesel dua anak lagi enggak meninggal. Kan (kalau meninggal) bisa masuk surga," ujar Dedeh, tenang, saat tepekur di Mapolres Cimahi, tempatnya kini ditahan. Bersama suaminya, Kasito, Dedeh memiliki tiga anak. Muhamad Rizaldi (15), Muhamad Fahrul Robani (10) dan Aisah Fany (2,5) yang kini tinggal nama. Fahrul juga sebenarnya telah dicoba dibunuh ibunya, hanya anak itu bisa keluar toren dan selamat.
Telah terlalu tuakah dunia, hingga kita kita sudajh melihat tak banyak lagi perbedaan antara hewan dan manusia? ”Homo homini lupus,” kata Thomas Hobbes, memopulerkan diktum yang diucapkan Plautus itu. ”Manusia adalah serigala bagi sesamanya.” Tapi serigala mana yang mengerkah anaknya sendiri?
Ada hal menarik yang diungkap psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, mencermati persoalan ini. “Kalau dalihnya agar masuk surga, itu sama sekali bukan depresi,” kata Reza. “Bukan skizophrenia, tetapi fictitious disorder.”
Menurut pengajar Universitas Bina Nusantara itu, kasus Dedeh lebih dekat dengan ciri Munchausen Syndrome by Proxy (MSBP). Nama keren itu adalah sebutan untuk gangguan jiwa pada orang tua yang cenderung menyakiti, bahkan membunuh, sebagai pernyataan sayang kepada anaknya.
”Ekspresi durjana bagi kita, ekspresi cinta buat dia,” kata Reza.
Jangan lupa menilik kian banyaknya kasus serupa, bukan tak mungkin kecenderungan MSBP semakin meluas. Sebagai ilustrasi sederhana, penyakit jiwa tampaknya makin menghantui kehidupan modern. Sebuah jurnal medis di Cina, The Lancet, pada 2009 lalu menulis bahwa 91 persen orang dewasa Cina mengalami masalah kejiwaan. Sedikit sekali dari mereka sadar dan menjalani pengobatan.
Indonesia? Sepertinya tak boleh terlalu optimistis dampak buruk modernitas itu tak mengimbas kita. [dsy]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar